Senin, 23 Januari 2012

Mitos Vs Fakta : Cinta pada pandangan pertama



Dalam film drama-romantik, The Notebook, sang tokoh,Noah, jatuh cinta pada Allie saat melihatnya pertama kali  di sebuah karnaval. Dalam novel Les Miserables dari Victor Hugo, tokoh Marius Pontmercy dan Cosette jatuh cinta satu kepada yang lainnya setelah saling bertatapan mata.  Dalam salah satu buku dongeng karangan Hans Christian Anderson, The Little Mermaid, tokoh protagonis, yaitu sang putri duyung jatuh cinta pada seorang pangeran manusia saat pertama kali melihat pangeran itu dan menyelamatkan sang pangeran saat ia akan tenggelam. Lagu The Beatles berjudul “With a Little Help From My Friends” terdapat lirik  “Would you believe in a love at first sight? Yes, I’m certain it happens all the time.” Bahkan Homer Simpson pun jatuh cinta pada saat pertama kali melihat Marge Simpson. Film, buku, puisi, drama, bahkan kartun yang menggambarkan fenomena Love at first sight atau cinta pada pandangan pertama begitu melimpah di sekeliling kita. Apakah sebenarnya cinta pada pandangan pertama itu? Benarkah ia ada? Layakkah ia dipercaya sebagai suatu fakta ataukah ia hanyalah mitos?
Interpretasi klasik tentang fenomena cinta pada pandangan pertama disampaikan oleh Plato dalam  Symposium : “… when [a lover] is fortunate enough to meet his other half, they are both so intoxicated with affection, with friendship, and with love, that they cannot bear to let each other out of sight for a single instant.” Dalam kajian psikologi, fenomena ini biasanya dimasukkan ke dalam pembahasan tentang romantic-passionate love, dimana aspek nafsu-fisiologis (passion) menjadi bagian terbesar penyusunnya. Ketertarikan awal yang begitu besar, menurut Elaine Hatfield dan Ellen Berscheid (1974) bersumber pada dua faktor, yaitu (1) keterangsangan biologis seperti jantung berdetak cepat, yang disertai dengan (2) keyakinan bahwa orang tersebut (yang kepadanya individu tertarik) adalah penyebab keterangsangan itu. Dapat dikatakan bahwa jatuh cinta-pada-pandangan-pertama adalah dikarenakan keterangsangan fisik diatribusikan (dilekatkan) pada kehadiran seseorang yang menarik.


Apa yang menyebabkan seseorang akan dianggap menarik sehingga dapat memunculkan keterangsangan fisik dan menyebabkan cinta pada pandangan pertama? Jawabannya ternyata begitu beragam. Pria lebih mendasarkan ketertarikannya pada tampilan fisik (cantik atau tidak, kulitnya putih atau kuning langsat, badannya besar-kurus-atletis, ciri-ciri seksualnya seperti payudara dan panggul, dll) sementara wanita lebih mendasarkan pada prestise dan posisi sosial dari pria yang ia lihat (Wachs, 2002). Sigmund Freud memaparkan bahwa dorongan dari alam bawah sadar manusia akan menyebabkan pria mencari wanita yang memiliki ciri ibunya dan wanita akan mencari pria yang memiliki ciri ayahnya (Oedipus dan Electra complex, demikian Freud menyebutnya). Begitu juga dengan situasi atau tempat dimana pria dan wanita bertemu akan mempengaruhi apakah cinta pada pandangan pertama ini akan terjadi. Dutton dan Aron (1974) mengadakan suatu eksperimen yang mencari tahu pengaruh dari situasi terhadap keterangsangan awal ini. Mereka menemukan bahwa pria yang berpapasan sesaat dengan seorang wanita di sebuah jembatan yang tinggi dan agak bergoyang dimana dibawahnya terbentang jurang akan mengalami keterangsangan romantik lebih besar dibandingkan pria yang berpapasan dengan seorang wanita di sebuah jembatan beton di sebuah taman yang tingginya hanya 2 meter dari kolam kecil dibawahnya. Tampaknya rasa takut menjadi bensin yang memperbesar nyala api ketertarikan.
Dari seluruh pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa fenomena cinta pada pandangan pertama itu adalah nyata. Tapi apakah ketertarikan/keterangsangan awal ini adalah sesuatu yang dapat menjadi landasan bagi relasi intim selanjutnya? Tampaknya tidak demikian. Dr. Kate M. Wachs (2002) memaparkan bahwa jika anda meyakini kekuatan/keajaiban cinta pada pandangan pertama, maka anda akan mengasumsikan bahwa cinta itu adalah keajaiban (magic)–-dimana anda dapat jatuh cinta, bahkan mencintai seseorang tanpa punya pengalaman sebelumnya dengan orang tersebut.
Saat anda mempercayai cinta pada pandangan pertama, anda akan cenderung melewatkan atau kurang peduli pada orang-orang yang kepadanya anda tidak tertarik secara instan. Anda mungkin memberikan waktu lima sampai lima belas menit untuk menilai seseorang pada pertemuan pertama anda, dan kemudian menjauh darinya kalau keterangsangan/ketertarikan anda padanya kurang besar/kurang mantap dan kurang mempesona.


Mempercayai cinta pada pandangan pertama berarti anda dapat fall out of love secara tiba-tiba, sama seperti anda fall in love yang juga secara instan dan mendadak. Saat anda menjalin relasi lebih lama dengan si “cinta pada pandangan pertama” anda, kemudian menemukan beberapa aspek yang kurang sesuai dengan keinginan anda, seringkali yang terjadi kemudian adalah anda tidak bersedia berusaha cukup keras demi kelangsungan hubungan itu. Saat keterangsangan awal itu memudar, maka saya lebih baik mencari sensasinya kembali pada orang yang lain. Jika saya dapat dengan cepat jatuh cinta, berarti saya juga dapat dengan cepat keluar dari cinta.
Cinta pada pandangan pertama pada dasarnya hanya terbatas pada infatuation (ketertarikan atau nafsu yang tidak beralasan, kurang bijak, atau berlebihan). Anda menyukai apa yang anda lihat, dan anda ingin jatuh cinta/mencintai, maka anda yakin bahwa apapun yang ada pada orang itu (yang sebenarnya anda tidak tahu) PASTI juga indah dan menyenangkan. Anda dikuasai oleh perasaan ingin yang begitu meluap. Kalau ternyata anda benar, karena potongan-potongan misteri (hal-hal lain dari orang itu) yang muncul belakangan ternyata memang anda inginkan dan sesuai dengan anda, bersyukurlah. Kalau ternyata tidak sesuai, apa yang akan anda lakukan? Tapi pada momen anda jatuh cinta pada pandangan pertama, anda tidak tahu apakah ia memang orang yang tepat untuk anda.
Kalau anda bersedia menantang kepercayaan tentang jatuh cinta pada pandangan pertama, dan memahami bahwa dalam kenyataannya cinta muncul dan bertumbuh sejalan dengan waktu dan usaha, anda akan menemukan beberapa keuntungan:
  • Anda membuka begitu banyak kemungkinan dan peluangnya lebih kecil untuk melewatkan orang yang tepat untuk anda (yang mungkin awalnya mungkin kurang menarik, tapi lama kelamaan muncul sebagai orang yang tepat)
  • Anda menyadari bahwa perlu waktu untuk bisa menilai seseorang dan menentukan apakah ia orang yang tepat atau tidak. Anda dapat bertemu dengan seseorang yang mungkin wajahnya atau status sosialnya biasa saja, kemudian seiring waktu anda makin tertarik dan mencintai dia.
  • Anda bertanggungjawab untuk bersama memperjuangkan suatu relasi saat terjadi masalah.
  • Saat ternyata kecocokan itu akhirnya tidak anda temukan dengan seseorang, maka anda dapat dengan yakin melangkah keluar dari hubungan itu dan mencari orang lain yang lebih tepat untuk anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar